Sebagai bagian dari masyarakat dunia, bangsa Indonesia tidak bisa menutup diri dari perkembangan global. Di era ini, globalisasi menjadi sesuatu hal yang tidak bisa dihindari, dimana serat-serat jejaring menjadi tanpa batas negara kebangsaan.
Pada tahun 2015, Indonesia akan memasuki AFTA (ASEAN Free Trade Area) atau zona perdagangan bebas ASEAN. Dengan masuknya Indonesia ke dalam AFTA, tentunya kita harus mengantisipasinya. Paling tidak dalam bidang yang berpengaruh terhadap sumber daya insani atau dalam bahasa populernya sumber daya manusia. Apakah sebenarnya AFTA dan mengapa ia penting sekali untuk diperhatikan ? Bagaimanakah pengaruhnya terhadap pendidikan nasional Indonesia ?
Secara sepintas, level pendidikan di Indonesia yang akan terpengaruh oleh AFTA adalah pendidikan tinggi, karena pada level inilah tantangan tenaga kerja nasional paling tinggi. Bayangkan saja, seorang sarjana di Indonesia harus bersaing dengan tenaga kerja berasal dari Singapura. Begitupula tenaga kerja berpendidikan diploma Indonesia kelak harus berhadapan dengan rekan-rekan mereka yang berasal dari Malaysia di Indonesia.
Dengan kondisi disebutkan di atas, barangkali tantangan itu harus dijawab. Apakah masih cukup waktu untuk mempersiapkan ataukah institusi pendidikan Indonesia harus lebih keras lagi berusaha ?
Apakah upaya yang telah dilakukan sudah dianggap cukup ataukah perlu ditingkatkan lagi ?
Permasalahan kebijakan pendidikan Indonesia tidaklah dapat dianggap suatu hal yang remeh. Sebagian besar rakyat Indonesia sering sekali menganggap bahwa permasalahan pendidikan nasional penting, namun sering sekali melupakan apabila diletakkan dalam konteks kebijakan. Bagaimana tidak, ketika gong AFTA ditabuh, maka bukan hanya masalah persaingan sumber daya insani yang bersaing, namun institusi pencetak sumber daya insani dituntut untuk bisa mempersembahkan yang terbaik. Sering sekali pendidik/pengajar yang sering disalahkan sebagai penyebab dari kurangnya daya saing sumber daya insani. Masyarakat lupa bahwa pendidik/pengajar dan institusi tidak berada dalam ruang hampa. Mereka berada dalam sebuah institusi, dimana institusi diregulasi oleh kebijakan nasional Indonesia.
Tidak kurang-kurang Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan melakukan pembinaan Perguruan Tinggi melalui peningkatan mutu melalui sertifikasi akreditas BAN. Selain itu beberapa institusi pendidikan melakukan sertifikasi voluntary dengan mengadopsi Sistem Manajemen Mutu ISO 9000 bahkan melalui sertifikasi kurikulum program studi semacam ABET (Accreditation Board for Engineering and Technology), LAAB (Landscape Architectural Accreditation Board) dan berbagai akreditasi kurikulum lainnya.
Bagi sebagian masyarakat , sertifikasi-sertifikasi tersebut dianggap sebagai ukuran mutu sedangkan bagi sebagian besar dianggap sebagai komersialisasi dan industrialisasi pendidikan. Namun, bagi kedua pendapat yang bertentangan, sangat sedikit yang sudah memahami perbedaan antara akreditas BAN, sertifikasi manajemen mutu dan akreditasi kurikulum. Sebagian besar menganggap ketiga jenis sertifikasi sebagai suatu hal yang tidak berguna dan sebagian yang lain dianggap sebagai keunggulan.
Namun, tetap saja parameter pragmatis masih menyertai berbagai jenis sertifikasi dan akreditasi di pendidikan tinggi, yaitu apakah benar-benar bisa menghasilkan sumber daya insani yang kompetitif?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar