Telah kita bahas bersama pada tulisan saya terdahulu mengenai kesalahkaprahan fungsi gelar dalam masyarakat, dimana masyarakat menuntut ilmu untuk sebuah prestise.
Sebenarnya tidaklah salah apabila orang tua menginginkan anaknya untuk sukses di dunia. Siapa sih yang tidak seneng kalau anaknya kelak menjadi seorang yang pintar dan sukses ? Itu tidaklah salah dan sah-sah saja. Namun yang perlu diperhatikan sekarang adalah, apakah gelar yang disandang oleh seseorang mencerminkan level keahliannya ?
Saat ini aku sedang istirahat mengajar di kelas diploma Industri, mengajar kelas Desain Tata Letak. Kurikulum yang disodorkan kepadaku tidak ada bedanya dengan setengah kurikulum mata kuliah S1 Tata Letak dan Penanganan Bahan Teknik Industri. Perbedaan hanyalah pada lamanya mahasiswa diploma harus terlibat dalam kelas responsi lebih banyak dibandingkan dengan mahasiswa S1 Teknik Industri. Dapat dibayangkan bagaimana saya merasa berdosa, karena mengajar materi yang sama dengan S1 hanya ditambah jamnya. Seharusnya memang, kelas-kelas dan responsi/praktikum kelas vokasi lebih pada praktek, bukannya latihan mengerjakan soal yang tentunya membosankan selama 4 jam.
Sekolah vokasi di Indonesia seakan diletakkan dalam posisi lulusan S1 minus penelitian, tanpa dibekali dengan kemampuan/skill yang jauh lebih aplikatif dari mahasiswa S1 karena apabila mereka bekerja kelak "grade" mereka tidak jauh dengan mahasiswa S1. Seharusnya, mahasiswa diploma diajarkan problem solving skill yang aplikatif. Hal ini sering dilupakan oleh sekolah vokasi, terutama sekolah vokasi/jurusan vokasi yang dikemangkan dari jurusan S1. Biasanya pendirian yang demikian lebih didorong oleh permintaan pasar. Permasalahan gap antara harapan dan kenyataan juga terjadi pada jurusan/departemen/sekolah sarjana yang dikembangkan dari sekolah vokasi. Para pendiri sering menganggap bahwa sarjana adalah diploma+skripsi tanpa merubah desain kurikulum sesuai outcome.
Oleh karena itu, penulis sangat setuju sekali dengan kebijakan pemerintah untuk membatasi pendirian jurusan baru di perguruan tinggi, terutama yang tidak jelas visi-misi, tujuan beserta desain kurikulum. Pengetatan diperlukan agar calon mahasiswa/orang tuan tidak tertipu luar dalam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar