Tampilkan postingan dengan label kasus pendidikan nasional. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kasus pendidikan nasional. Tampilkan semua postingan

Kamis, 24 April 2014

Keidakjelasan pendidikan vokasi Indonesia (2)

Telah kita bahas bersama pada tulisan saya terdahulu mengenai kesalahkaprahan fungsi gelar dalam masyarakat, dimana masyarakat menuntut ilmu untuk sebuah prestise.

Sebenarnya tidaklah salah apabila orang tua menginginkan anaknya untuk sukses di dunia. Siapa sih yang tidak seneng kalau anaknya kelak menjadi seorang yang pintar dan sukses ? Itu tidaklah salah dan sah-sah saja. Namun yang perlu diperhatikan sekarang adalah, apakah gelar yang disandang oleh seseorang mencerminkan level keahliannya ?

Saat ini aku sedang istirahat mengajar di kelas diploma Industri, mengajar kelas Desain Tata Letak. Kurikulum yang disodorkan kepadaku tidak ada bedanya dengan setengah kurikulum mata kuliah S1 Tata Letak dan Penanganan Bahan Teknik Industri. Perbedaan hanyalah pada lamanya mahasiswa diploma harus terlibat dalam kelas responsi lebih banyak dibandingkan dengan mahasiswa S1 Teknik Industri. Dapat dibayangkan bagaimana saya merasa berdosa, karena mengajar materi yang sama dengan S1 hanya ditambah jamnya. Seharusnya memang, kelas-kelas dan responsi/praktikum kelas vokasi lebih pada praktek, bukannya latihan mengerjakan soal yang tentunya membosankan selama 4 jam.

Sekolah vokasi di Indonesia seakan diletakkan dalam posisi lulusan S1 minus penelitian, tanpa dibekali dengan kemampuan/skill yang jauh lebih aplikatif dari mahasiswa S1 karena apabila mereka bekerja kelak "grade" mereka tidak jauh dengan mahasiswa S1. Seharusnya, mahasiswa diploma diajarkan problem solving skill yang aplikatif. Hal ini sering dilupakan oleh sekolah vokasi, terutama sekolah vokasi/jurusan vokasi yang dikemangkan dari jurusan S1. Biasanya pendirian yang demikian lebih didorong oleh permintaan pasar. Permasalahan gap antara harapan dan kenyataan juga terjadi pada jurusan/departemen/sekolah sarjana yang dikembangkan dari sekolah vokasi. Para pendiri sering menganggap bahwa sarjana adalah diploma+skripsi tanpa merubah desain kurikulum sesuai outcome.

Oleh karena itu, penulis sangat setuju sekali dengan kebijakan pemerintah untuk membatasi pendirian jurusan baru di perguruan tinggi, terutama yang tidak jelas visi-misi, tujuan beserta desain kurikulum.  Pengetatan diperlukan agar calon mahasiswa/orang tuan tidak tertipu luar dalam.

Rabu, 23 April 2014

Pendidikan Nasional Indonesia dalam Rentang Waktu

Sistem pendidikan nasional dewasa ini sedang banyak disorot, baik pada level nasional maupun internasional. Salah satu kejadian yang menggemparkan dunia pendidikan adalah terjadinya pelecehan seksual di salah satu sekolah internasional di Jakarta. Kasus tersebut pada akhirnya menguak suatu fakta bahwa sekolah internasional tersebut tidak memiliki ijin. Meski seharusnya kasus tersebut hanyalah salah satu dari sekian banyak permasalahan, namun sedikit banyak mempengaruhi citra pendidikan Indonesia di dunia internasional.

Sekolah internasional tersebut sebenarnya sangat kasuistis dimana dalam sistem pendidikan Indonesia tidak diakui sebagai sekolah Indonesia yang patuh pada hukum dan regulasi Indonesia, namun disisi lain lokasi terletak di Indonesia. Dunia internasional pada umumnya dan dunia pendidikan internasional pada khususnya akan ikut menyorot dan menghakimi sistem pendidikan Indonesia adalah salah satu dari yang terburuk. Pada akhirnya kita kemudian bertanya, siapakah yang seharusnya bertanggungjawab ?

Kementrian pendidikan dan kebudayaan tentunya tidak bisa dianggap sebagai pihak yang turut bertanggungjawab, karena eksklusivitas dari sekolah tersebut. Eksklusivitas tersebut disebabkan karena standar pendidikan menggunakan standar Inggris dan tidak mengikuti standar sistem Indonesia. Kultur yang ada di sekolah itupun tidak sesuai dengan kultur yang berkembang di Indonesia, namun berada di Indonesia. Lalu bentuk evaluasi apa yang dapat digunakan untuk menilai kualitas dari sekolah tersebut ?

Apabila kita mendefinisikan pengelolaan atau manajemen, tentunya kita mengenal POAC atau Planning, Organizing, Actuating and Controling. Dalam kasus ini, siapakah yang akan memonitor keempat proses yang ada dalam manajemen pengelolaan sekolah itu ? Apakah eksklusivitas dan citra internasional saja cukup untuk mengatakan bahwa sekolah itu qualified ?

Peristiwa itu selayaknya menjadi pelajaran bagi Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai regulator pendidikan nasional. Akan seperti apakah nanti apabila banyak sekali sekolah dari luar negeri yang akan menjamur apabila benar-benar kita memasuki era free trade sehingga semua badan hukum dari luar negeri bisa membuka operasi di Indonesia, khususnya dunia pendidikan ? Sudah selayaknya Kemendikbud memikirkan hal ini jauh-jauh hari sebelum terjadi kasus lain selain pelecehan seksual, namun misalnya penjualan ijazah ?

Jaman dahulu, sekolah yang dianggap "luar negeri" dan bertaraf internasional dianggap ampuh dan mumpuni. Seseorang yang bisa sekolah ke luar negeri dianggap sebagai orang pintar di Indonesia. Namun bagaimanakah selanjutnya apabila sekolah yang tadinya berada di luar negeri masuk ke Indonesia ? Apakah sekolah tersebut bersedia untuk mengikuti aturan main Indonesia ? Sedangkan sistem pendidikan nasional Indonesia masih dianggap berkualitas rendah ? Apabila sekolah dari luar negeri tersebut tidak mau tunduk pada peraturan Indonesia, standar mana yang mereka pakai dan pihak mana menjadi evaluator sekolah tersebut ?

Dunia pendidikan memang berbeda dengan dunia perdagangan dan industri, namun dengan perkembangan globalisasi sumber daya dan pendidikan, apakah dunia pendidikan akan diperdagangkan dan diindustrialisasi ?

Apakah kita hanya akan berkata, waktulah yang akan menentukan ? Terlalu riskan apabila kita mengatakan hal itu. Kita harus bisa menjadi bangsa yang kuat dan berpendirian apabila masuk ke dalam ranah pembentukan karakter dan pembentukan manusia seutuhnya.

SALAM PENDIDIKAN