Kamis, 29 Mei 2014

Mendidik adalah Menginspirasi

Salah satu tokoh pendidikan yang saya kagumi era ini adalah Anies Baswedan. Beliau-lah yang saat ini saya pandang sebagai motivator saya sebagai seorang pendidik. Dari beliaulah aku belajar bahwa pendidikan dan pengajaran bukan hanya proses transaksional, namun suatu proses transformasional.

Saat menjadi mahasiswa, beliau menjadi inspirator saya untuk lulus dengan nilai baik meskipun aktif dalam kemahasiswaan. Beliau-lah yang menginspirasi saya bahwa intelejensi bukan hanya intelejensi IQ maupun nilai kuliah namun juga kemampuan untuk bersosialisasi dan membangun jaringan. Nilai baik hanyalah salah satu faktor dalam meraih masa depan, namun social skill-lah yang harus dimiliki oleh calon sarjana.



Dari inspirasi beliau-lah aku menyadari dan aware, bahwa tugas pendidik bukanlah hanya mengajarkan dan menyampaikan materi, namun memberikan inspirasi kepada mahasiswa sehingga memiliki visi ke depan untuk maju sebagai seorang profesional maupun sebagai insan bangsa membangun negeri ini. Dari beliau-lah saya menyadari peran pendidikan bagi proses transformasi sosial. APalagi saat ini adalah tahun 2014. Satu tahun lagi Indonesia akan memasuki era AFTA 2015, dimana Indonesia masuk ke dalam kawasan perdagangan bebas ASEAN. Peran transformasi sosial melalui pendidikan diperlukan untuk dapat membentuk insan yang kuat. Sebuah visi transformasi melalui pendidikan yang digabungkan dengan visi ke-negarawan-an diperlukan dalam era selanjutnya. Untuk itu diperlukan pejuang-pejuang pendidikan yang memiliki akses ke pengambil keputusan sehingga perjuangan pendidikan selain memiliki kekuatan transformasional juga memiliki kekuatan politik untuk mengarahkan kebijakan pendidikan. Seorang yang ber-visi pendidikan dan bervisi politik ke depan sangat diperlukan saat ini. Salah satu tokoh yang aku pandang mampu adalah Anies Baswedan.

Meskipun saat ini beliau masuk ke arena politik, saya tidak meragukan visi-nya dalam dunia pendidikan. Dari dulu saya melihat bahwa Anies yang dibesarkan dalam keluarga pendidik benar-benar terjiwai sebagai perubah mental pemikiran. Sebuah revolusi pemikiran yang dilakukan dengan semagat reformatif dan transformatif. Semoga beliau tetap bisa menjaga visi-nya untuk membangun negeri ini melalui pendidikan.

Rabu, 07 Mei 2014

Mendidik adalah Melayani

Saya terinspirasi sebuah filosofi dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX, ayahanda dari Sri Sultan Hamengkubuwono X yang saat ini adalah Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta.

"Tahta untuk Rakyat", sebuah filosofi dari seorang bangsawan yang sungguh melayani rakyat.

Apabila seseorang yang pada jamannya dianggap sebagai titisan Tuhan yang memiliki "Divine Rights to rule absolutely" mengatakan bahwa kekuasaannya adalah untuk rakyat, bagaimanakah saya yang pendidik ini bisa melayani bangsa dan negara ?

Bukankah hidup ini adalah untuk beribadah kepada Tuhan dan untuk itu melakukan kebajikan-kebajikan di muka bumi ini untuk Memayu Hayuning Bhawana ?

Barangkali profesi seorang pendidik tidaklah sementereng menjadi pengusaha, politikus maupun bangkir ? Namun dampak dari apa yang ia ajarkan bisa memberikan dampak yang besar bagi bangsa ini ?

Di negeri ini barangkali penghargaan pendidik belum begitu dihargai dibandingkan dengan di negara maju ? Namun tuntutan yang dibebankan sungguh berat, melalui berbagai persyaratan, melalui berbagai peraturan-peraturan yang sungguh memberatkan. Dan tentunya kata-kata sumbing karena berada di sebuah Kementrian yang konon memiliki angka penyelewengan finansial yang termasuk tinggi. Hal ini menjadikan kontrol-kontrol finansial yang sering sekali absurd dalam melakukan penelitian dan pengabdian masyarakat. Padahal kebocoran-kebocoran sering terjadi di level birokrasi dan karena karakteristik output di dunia pendidikan susah diukur sehingga menjadi lahan subur bagi birokrat-birokrat pengelola.

Namun ketika aku menyandarkan diri pada filosofi "Tahta untuk Rakyat", aku merasa bahwa pengorbananku belumlah apa-apa dibandingkan dengan orang-orang besar yang komit dan jujur dalam membangun negeri ini ?

Aku terkadang lupa bahwa jaman dahulu almarhumah ibu-ku mengabdikan diri menjadi guru sekolah menengah di jaman orde baru, tanpa remunerasi dan tunjangan-tunjangan profesi. Namun, kehidupan jaman sekarang yang konsumtif sering sekali merubah idealisme pendidik.

Sering sekali Doktor lulusan luar negeri mengeluh bahwa penghargaan tidak sepadan dengan pengorbanan dan seringkali memperbandingakan dengan rekan sejawat di luar negeri. Sri Sultan Hamengkubuwono IX kuliah di Belanda, sebuah negeri yang kala itu maju, namun beliau tetap merasa sebagai seorang anak bangsa yang harus membangun negerinya. Sungguh aku malu apabila mengingat beliau.

Ya Tuhan, berikanlah hamba kekuatan untuk benar-benar mengabdikan diri. Aku yakin bahwa Engkau akan mempermudah urusanku apabila benar-benar berniyat mengabdikan diri dan berkorban bagi nusa dan bangsa ini. Berikanlah hamba kekuatan dalam melaksanakan tugasku ini.


Jumat, 25 April 2014

Pendidikan Indonesia dalam Era AFTA 2015 : kebijakan dan sertifikasi

Sebagai bagian dari masyarakat dunia, bangsa Indonesia tidak bisa menutup diri dari perkembangan global. Di era ini, globalisasi menjadi sesuatu hal yang tidak bisa dihindari, dimana serat-serat jejaring menjadi tanpa batas negara kebangsaan. 



Pada tahun 2015, Indonesia akan memasuki AFTA (ASEAN Free Trade Area) atau zona perdagangan bebas ASEAN. Dengan masuknya Indonesia ke dalam AFTA, tentunya kita harus mengantisipasinya. Paling tidak dalam bidang yang berpengaruh terhadap sumber daya insani atau dalam bahasa populernya sumber daya manusia. Apakah sebenarnya AFTA dan mengapa ia penting sekali untuk diperhatikan ? Bagaimanakah pengaruhnya terhadap pendidikan nasional Indonesia ?

Secara sepintas, level pendidikan di Indonesia yang akan terpengaruh oleh AFTA adalah pendidikan tinggi, karena pada level inilah tantangan tenaga kerja nasional paling tinggi. Bayangkan saja, seorang sarjana di Indonesia harus bersaing dengan tenaga kerja berasal dari Singapura. Begitupula tenaga kerja berpendidikan diploma Indonesia kelak harus berhadapan dengan rekan-rekan mereka yang berasal dari Malaysia di Indonesia.

Dengan kondisi disebutkan di atas, barangkali tantangan itu harus dijawab. Apakah masih cukup waktu untuk mempersiapkan ataukah institusi pendidikan Indonesia harus lebih keras lagi berusaha ?
Apakah upaya yang telah dilakukan sudah dianggap cukup ataukah perlu ditingkatkan lagi ?

Permasalahan kebijakan pendidikan Indonesia tidaklah dapat dianggap suatu hal yang remeh. Sebagian besar rakyat Indonesia sering sekali menganggap bahwa permasalahan pendidikan nasional penting, namun sering sekali melupakan apabila diletakkan dalam konteks kebijakan. Bagaimana tidak, ketika gong AFTA ditabuh, maka bukan hanya masalah persaingan sumber daya insani yang bersaing, namun institusi pencetak sumber daya insani dituntut untuk bisa mempersembahkan yang terbaik. Sering sekali pendidik/pengajar yang sering disalahkan sebagai penyebab dari kurangnya daya saing sumber daya insani. Masyarakat lupa bahwa pendidik/pengajar dan institusi tidak berada dalam ruang hampa. Mereka berada dalam sebuah institusi, dimana institusi diregulasi oleh kebijakan nasional Indonesia.

Tidak kurang-kurang Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan melakukan pembinaan Perguruan Tinggi melalui peningkatan mutu melalui sertifikasi akreditas BAN. Selain itu beberapa institusi pendidikan melakukan sertifikasi voluntary dengan mengadopsi Sistem Manajemen Mutu ISO 9000 bahkan melalui sertifikasi kurikulum program studi semacam ABET (Accreditation Board for Engineering and Technology), LAAB (Landscape Architectural Accreditation Board) dan berbagai akreditasi kurikulum lainnya. 

Bagi sebagian masyarakat , sertifikasi-sertifikasi tersebut dianggap sebagai ukuran mutu sedangkan bagi sebagian besar dianggap sebagai komersialisasi dan industrialisasi pendidikan. Namun, bagi kedua pendapat yang bertentangan, sangat sedikit yang sudah memahami perbedaan antara akreditas BAN, sertifikasi manajemen mutu dan akreditasi kurikulum. Sebagian besar menganggap ketiga jenis sertifikasi sebagai suatu hal yang tidak berguna dan sebagian yang lain dianggap sebagai keunggulan. 

Namun, tetap saja parameter pragmatis masih menyertai berbagai jenis sertifikasi dan akreditasi di pendidikan tinggi, yaitu apakah benar-benar bisa menghasilkan sumber daya insani yang kompetitif?


Kamis, 24 April 2014

Keidakjelasan pendidikan vokasi Indonesia (2)

Telah kita bahas bersama pada tulisan saya terdahulu mengenai kesalahkaprahan fungsi gelar dalam masyarakat, dimana masyarakat menuntut ilmu untuk sebuah prestise.

Sebenarnya tidaklah salah apabila orang tua menginginkan anaknya untuk sukses di dunia. Siapa sih yang tidak seneng kalau anaknya kelak menjadi seorang yang pintar dan sukses ? Itu tidaklah salah dan sah-sah saja. Namun yang perlu diperhatikan sekarang adalah, apakah gelar yang disandang oleh seseorang mencerminkan level keahliannya ?

Saat ini aku sedang istirahat mengajar di kelas diploma Industri, mengajar kelas Desain Tata Letak. Kurikulum yang disodorkan kepadaku tidak ada bedanya dengan setengah kurikulum mata kuliah S1 Tata Letak dan Penanganan Bahan Teknik Industri. Perbedaan hanyalah pada lamanya mahasiswa diploma harus terlibat dalam kelas responsi lebih banyak dibandingkan dengan mahasiswa S1 Teknik Industri. Dapat dibayangkan bagaimana saya merasa berdosa, karena mengajar materi yang sama dengan S1 hanya ditambah jamnya. Seharusnya memang, kelas-kelas dan responsi/praktikum kelas vokasi lebih pada praktek, bukannya latihan mengerjakan soal yang tentunya membosankan selama 4 jam.

Sekolah vokasi di Indonesia seakan diletakkan dalam posisi lulusan S1 minus penelitian, tanpa dibekali dengan kemampuan/skill yang jauh lebih aplikatif dari mahasiswa S1 karena apabila mereka bekerja kelak "grade" mereka tidak jauh dengan mahasiswa S1. Seharusnya, mahasiswa diploma diajarkan problem solving skill yang aplikatif. Hal ini sering dilupakan oleh sekolah vokasi, terutama sekolah vokasi/jurusan vokasi yang dikemangkan dari jurusan S1. Biasanya pendirian yang demikian lebih didorong oleh permintaan pasar. Permasalahan gap antara harapan dan kenyataan juga terjadi pada jurusan/departemen/sekolah sarjana yang dikembangkan dari sekolah vokasi. Para pendiri sering menganggap bahwa sarjana adalah diploma+skripsi tanpa merubah desain kurikulum sesuai outcome.

Oleh karena itu, penulis sangat setuju sekali dengan kebijakan pemerintah untuk membatasi pendirian jurusan baru di perguruan tinggi, terutama yang tidak jelas visi-misi, tujuan beserta desain kurikulum.  Pengetatan diperlukan agar calon mahasiswa/orang tuan tidak tertipu luar dalam.

Ketidakjelasan Pendidikan Vokasi Indonesia (1)

Almarhumah ibu saya adalah seorang guru Sekolah Menengah Pertama. Beliau memiliki gelar BA atau Bachelor of Arts dalam bidang pendidikan civic hukum. Beliau mengambil pendidikan sarjana muda dalam bidang civic hukum karena sebenarnya tertarik pada bidang hukum namun tidak diperbolehkan oleh mendiang kakekku. Kakekku lebih menginginkan ibunda sebagai seorang guru yang memiliki jasa dalam mencerdaskan bangsa ini.

Gelar sarjana muda barangkali masih ngetrend di era ibunda dulu sekolah. Jaman sekarang kita jarang mendengar gelar BA maupun BSc yang kala itu memiliki keunggulan tertentu. Jaman sekarang, gelar Bachelor dan BSc bermetamorfosa menjadi Amd atau ahli madya. Apabila jaman dahulu kala, gelas BA dan BSc sudah tinggi, maka jaman sekarang dianggap kurang bergengsi. Itulah kesalahan bangsa kita dalam memandang gelar. Gelar jaman sekarang lebih dianggap sebagai pengganti gelar Tubagus, Raden, dan gelar-gelar jaman dahulu yang menyuratkan status si penyandang. Ya, gelar telah menjadi sebuah sarana untuk show-off dan mengalami degradasi makna. Telah terjadi "inflasi" gelar di Indonesia.

Bagi aku yang berprofesi sebagai pengajar di Perguruan Tinggi, gelar S3 adalah suatu keharusan. Namun bagi masyarakat yang tidak berhubungan dengan pengembangan keilmuwan barangkali gelar tersebut tidak begitu penting. Seorang manajer di sebuah pabrik barangkali hanya memerlukan BEng dalam bekerja karena kurikulum BEng lebih pada aplikasi. Dan barangkali, seharusnya orang-orang yang bergelar Bachelor memiliki kompetensi yang tinggi pada aspek aplikatif dibandingkan dengan rekan-rekan mereka yang bergelar Sarjana maupun Master ataupun Doktor. Kesalah kaprahan di negeri kita adalah menganggap bahwa pencarian gelar merupakan suatu prestise, padahal tidaklah demikian. (BERSAMBUNG)

Rabu, 23 April 2014

Pendidikan Nasional Indonesia dalam Rentang Waktu

Sistem pendidikan nasional dewasa ini sedang banyak disorot, baik pada level nasional maupun internasional. Salah satu kejadian yang menggemparkan dunia pendidikan adalah terjadinya pelecehan seksual di salah satu sekolah internasional di Jakarta. Kasus tersebut pada akhirnya menguak suatu fakta bahwa sekolah internasional tersebut tidak memiliki ijin. Meski seharusnya kasus tersebut hanyalah salah satu dari sekian banyak permasalahan, namun sedikit banyak mempengaruhi citra pendidikan Indonesia di dunia internasional.

Sekolah internasional tersebut sebenarnya sangat kasuistis dimana dalam sistem pendidikan Indonesia tidak diakui sebagai sekolah Indonesia yang patuh pada hukum dan regulasi Indonesia, namun disisi lain lokasi terletak di Indonesia. Dunia internasional pada umumnya dan dunia pendidikan internasional pada khususnya akan ikut menyorot dan menghakimi sistem pendidikan Indonesia adalah salah satu dari yang terburuk. Pada akhirnya kita kemudian bertanya, siapakah yang seharusnya bertanggungjawab ?

Kementrian pendidikan dan kebudayaan tentunya tidak bisa dianggap sebagai pihak yang turut bertanggungjawab, karena eksklusivitas dari sekolah tersebut. Eksklusivitas tersebut disebabkan karena standar pendidikan menggunakan standar Inggris dan tidak mengikuti standar sistem Indonesia. Kultur yang ada di sekolah itupun tidak sesuai dengan kultur yang berkembang di Indonesia, namun berada di Indonesia. Lalu bentuk evaluasi apa yang dapat digunakan untuk menilai kualitas dari sekolah tersebut ?

Apabila kita mendefinisikan pengelolaan atau manajemen, tentunya kita mengenal POAC atau Planning, Organizing, Actuating and Controling. Dalam kasus ini, siapakah yang akan memonitor keempat proses yang ada dalam manajemen pengelolaan sekolah itu ? Apakah eksklusivitas dan citra internasional saja cukup untuk mengatakan bahwa sekolah itu qualified ?

Peristiwa itu selayaknya menjadi pelajaran bagi Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai regulator pendidikan nasional. Akan seperti apakah nanti apabila banyak sekali sekolah dari luar negeri yang akan menjamur apabila benar-benar kita memasuki era free trade sehingga semua badan hukum dari luar negeri bisa membuka operasi di Indonesia, khususnya dunia pendidikan ? Sudah selayaknya Kemendikbud memikirkan hal ini jauh-jauh hari sebelum terjadi kasus lain selain pelecehan seksual, namun misalnya penjualan ijazah ?

Jaman dahulu, sekolah yang dianggap "luar negeri" dan bertaraf internasional dianggap ampuh dan mumpuni. Seseorang yang bisa sekolah ke luar negeri dianggap sebagai orang pintar di Indonesia. Namun bagaimanakah selanjutnya apabila sekolah yang tadinya berada di luar negeri masuk ke Indonesia ? Apakah sekolah tersebut bersedia untuk mengikuti aturan main Indonesia ? Sedangkan sistem pendidikan nasional Indonesia masih dianggap berkualitas rendah ? Apabila sekolah dari luar negeri tersebut tidak mau tunduk pada peraturan Indonesia, standar mana yang mereka pakai dan pihak mana menjadi evaluator sekolah tersebut ?

Dunia pendidikan memang berbeda dengan dunia perdagangan dan industri, namun dengan perkembangan globalisasi sumber daya dan pendidikan, apakah dunia pendidikan akan diperdagangkan dan diindustrialisasi ?

Apakah kita hanya akan berkata, waktulah yang akan menentukan ? Terlalu riskan apabila kita mengatakan hal itu. Kita harus bisa menjadi bangsa yang kuat dan berpendirian apabila masuk ke dalam ranah pembentukan karakter dan pembentukan manusia seutuhnya.

SALAM PENDIDIKAN